A Setyo Wibowo
Pertemanan kombinatif para politisi selalu mengagetkan meski tidak membuat kita terkejut. Rasanya déjà vu, sudah pernah melihatnya.
Senyum mediatik Jusuf Kalla dengan Susilo Bambang Yudhoyono, atau kini dengan Taufik Kiemas, hanya meneruskan tradisi pertemanan ajaib antarbeberapa aktivis mahasiswa 74-98 dengan orang- orang yang pernah memenjarakannya. Pertemanan politis yang irasional ini biasanya dijustifikasi dengan argumen, dalam politik tidak ada teman abadi kecuali kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Sinisme ini sejalur dengan ungkapan yang sering diasalkan pada Voltaire, Mon dieu, gardez-moi de mes amis. Quant à mes ennemis, je m’en charge (Tuhanku, lindungilah aku dari teman-temanku. Kalau musuh-musuhku, aku bisa mengatasinya sendiri). Bagi Voltaire, kita harus waspada dan sinis bukan kepada musuh yang jelas bisa dipetakan, tetapi justru kepada orang yang mengaku-aku teman.
Kebaikan relatif
Sebaliknya, Plato (abad ke-4 SM), tanpa sinisme menyakitkan, memberikan inspirasi jernih tentang model pertemanan dalam bukunya, Lysis. Pertemanan (philia) selalu dilandasi kepentingan yang dianggap berguna bagi kedua pihak yang terlibat. Dan, sejauh dianggap berguna dan terbaik untuk saat ini, pertemanan dilandaskan pada semacam kebaikan (to agathon, goodness). Maka, di satu sisi ada macam-macam kebaikan sesuai tingkat persepsi mereka yang berteman dan di sisi lain yang namanya teman selalu relatif.
Pada tingkat paling bawah, orang melakukan relasi pertemanan karena sama- sama ingin memuaskan nafsu makan, minum, dan seks mereka (epithumia) serta mendapatkan kenikmatan sesaat. Di lokalisasi, pertemanan dua orang dijalin secara temporer demi kesenangan akan seks dan uang yang de facto menjadi kepentingan bersama, artinya berguna dan terbaik saat itu bagi keduanya.
Bukan hanya di remang-remang tempat melacur, di bawah sorot terang benderang kamera pun, kita bisa menyaksikan relasi pertemanan politik antardua pihak yang mirip. Mereka bergonta-ganti pasangan dengan mudah. Yang satu butuh survival, sementara yang lain butuh kenikmatan menguasai lewat uang. Wajar jika lalu muncul istilah pelacuran politik. Artinya, di tingkat ini, kombinasi pertemanan hanya disetir epithumia. Dan sejauh kepentingan/kegunaan/kebaikan hanya di tingkat nafsu, landasan pertemanan ini bersifat relatif. Semua tergantung dari derajat pemuasan nafsu. Bila ada pihak yang tidak senang dan tidak puas, ganti pasangan adalah solusi logis. Sebuah logika yang jauh dari bimbingan budi jernih. Artinya, tidak rasional karena kebaikan dalam arti ini benar-benar tidak pernah baik. Kebaikan dalam arti sekadar memenuhi nafsu survival dengan sendirinya kalah luhur dari kebaikan, misalnya dalam arti pemerjuangan gengsi nasional.
Pada tingkat tengah, kita menyaksikan politisi yang berteman dengan alasan ingin memperjuangkan nasib rakyat dan membesarkan nama jaya Indonesia. Pertemanan tidak lagi dilandaskan pada pemuasan nafsu survival, tetapi demi ambisi dan gengsi nasional. Bagi mereka, kepentingan politis bukan lagi demi menjarah kekayaan negeri. Mereka menemukan, apa yang paling berguna dan terbaik saat ini adalah memberikan rasa bangga. Dengan demikian, kebaikan bukan lagi soal harta atau seks, tetapi harga diri (thumos). Demi memenuhi kenikmatan memiliki kebanggaan nasional, mereka akan mencari teman atau partai yang sama-sama memperjuangkan gengsi harga diri.
Namun, kebaikan—dalam arti pemenuhan gengsi yang menjadi landasan berteman—bersifat relatif. Hasrat menggebu tidak bisa diterapkan untuk hidup bermasyarakat. Alih-alih berpikir jernih, kebaikan dalam arti harga diri justru mengancam akal sehat. Kita sudah mengalami betapa politik nasional tahun 1960-an de facto dibayar rakyat dengan kelaparan.
Pada kedua tingkat pertemanan itu, kebaikan dalam arti pemuasan nafsu survival dan gengsi bersifat relatif. Mencari teman sekadar untuk memuaskan makan- minum-seks dan gengsi bersifat irasional. Dan, karena memelintir akal sehat serta budi jernih, wajar jika akal-akalan selalu ditemukan untuk membenarkan pasangan yang digonta-ganti.
Kebaikan sejati
Platon mengajak merenungi tingkat- tingkat pertemanan dan kepentingan (kebaikan) relatif itu untuk dilampaui. Sejauh bisa dimurnikan, Platon akan menunjukkan, ada kebaikan sejati yang rasional dan mendekatkan kita pada praktik hidup yang tenang, menyejukkan, dan menjanjikan kebahagiaan durable.
Itu mengandaikan kita berani berpikir bahwa berteman dalam politik tidak bisa hanya dilandaskan pada soal uang atau harga diri. Sejauh bisa, pertemanan dibangun demi komitmen nilai. Artinya, memberantas korupsi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menegakkan pluralisme konstitutif Pancasila, dihayati bukan lagi sebagai lips service untuk membenarkan motif-motif epithumia dan thumos, tetapi benar-benar dijadikan kriteria dan value dalam mencari teman berpolitik.
Dengan prinsip ini, kita bisa memahami dengan budi jernih mengapa teman akhirnya bersifat relatif. Bila komitmen nilai jelas, siapa pun teman Anda relatif. Kalau ia memeluk nilai yang sama luhurnya, kita akan berteman dengannya. Untuk sampai ke situ, kita harus tajam me-wiweka (discern) kebaikan apa yang sedang diperjuangkan: apakah kebaikan dalam arti nafsu dan gengsi irasional atau kebaikan sejati yang berbudi. Semoga perburuan teman politis tidak mengoyak kedamaian rakyat yang sudah senang dan tenang dengan Pemilu 2009 yang lancar dan kini memerlukan hidup normal.
A Setyo Wibowo
Pengajar STF Driyarkara, Jakarta
Jumat, 1 Mei 2009
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus