Salah satu prasyarat demokrasi adalah kebebasan (yang bertanggungjawab, tentunya), namun beberapa tahun belakangan kita bisa merasakan kebebasan yang sudah kelewatan. Indikasinya jelas; fenomena kekerasan merebak di mana-mana.
Kita tentu masih ingat dengan kekagetan luar biasa setelah tahu bahwa orang-orang Tuban tiba-tiba menjadi anarkis dan brutal memporak-porandakan seisi kota karena kecewa dengan hasil pemilihan walikota beberapa bulan lalu. Image Tuban yang puluhan tahun dikenal tenang dan damai seketika rusak dengan kerusuhan beberapa hari itu. Atau juga tentang ulah berbagai kelompok masyarakat yang lebih memilih menggunakan tangan untuk menyelesaikan masalah daripada duduk bermufakat.
KWI sudah membaca gejala-gejala ini sejak 1998 dan di tahun 2004 menerbitkan Nota Pastoral yang menyebut “kekerasan” sebagai satu dari tiga penyakit bangsa. Dua yang lain adalah : korupsi dan kerusakan lingkungan hidup. Secara khusus pula, di bulan Agustus ini, Bulan Kitab Suci Nasional 2006, Lembaga Biblika Indonesia mengangkat tema yang lugas, “Hentikan Kekerasan”, sebagai wujud keprihatinan demi menyaksikan masyarakat yang gampang marah, rapuh dan “ringan tangan” dalam menyelesaikan masalah. Tema ini akan disajikan sebulan penuh dalam rangkaian pertemuan lingkungan berupa pendalaman iman..
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 juga secara detail membahas fenomena ini dan menghasilkan analisis yaitu bahwa saat ini budaya survival for the fittest (siapa yang kuat, dia yang menang - teori evolusi Darwin) sedang menjamur di masyarakat kita sebagai akibat pembungkaman aspirasi selama 32 tahun oleh Orde Baru. Ibarat desakan air dari kran yang disumbat, masyarakat berlomba-lomba mengapresiasikan kepentingannya masing-masing sambil memilih cara-cara kekerasan. Setiap hari kita dijejali dengan berita kekerasan, baik antar warga maupun antara warga dengan aparat.
Di tengah masyarakat saat ini muncul semangat komunalisme atau semangat “yang bukan grupku adalah musuhku”. Semangat itu masih ditambah lagi dengan mental win or lose, bukannya win-win solution.
Budaya ini sebenarnya juga warisan perilaku aparat dan birokrasi yang hobi menggunakan kekerasan dan melanggengkan kekuasaan lewat kekerasan fisik. Lihatlah “drama-drama” penggusuran di Surabaya yang tidak pernah diselesaikan dengan damai karena arogansi aparat.
SAGKI 2005 menawarkan habitus baru, “mendahulukan yang lemah, kecil dan tertin-das” sebagai budaya alternatif untuk melawan budaya kekerasan.
Bisakah mulai dari kita?
Jumat, 01 Mei 2009
Kekerasan Cermin Bangsa Primitif
Jaya Suprana pernah menyebut masyarakat Indonesia pasca Reformasi 1998 sebagai “masyarakat yang gagap”. Eep Syaefuloh Fattah punya istilah lain; “masyarakat akil balik”. Kedua kosakata itu merujuk pada satu arti; masyarakat yang belum dewasa dan tidak siap dengan perubahan. Tentunya sinisme itu tidak muncul tiba-tiba, melainkan lewat sebuah pengamatan panjang dan mendalam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus