Rabu, 22 Oktober 2008

Sulitnya Menjadikan Sekolah Ideal

oleh dr. M. Yusuf Suseno

Salah satu ruang kelas di SDN Pacarkeling ambruk. Membaca berita itu (Jawa Pos, 10/6), barulah saya tersadar. Mengapa ada yang hilang dari otak saya? Berikutnya, saya pun mengetahui mengapa bangsa ini masih saja terpuruk? Jawabannya adalah karena pendidikan telanjur dipandang sebelah mata.

Bangunan sekolah telantar dan keropos, tiba-tiba atapnya ambruk. Alasannya lagi-lagi terkait dengan birokrasi. Tapi, masih bersyukur, tidak ada siswa yang tertimpa dan mati. Di lain SDN, kalau toh tidak rusak, banyak ruang kelas sekolah di Surabaya yang overload atau sesak siswa. Padahal, ada anggaran Rp 1.290.000.000.000 sisa anggaran APBD Surabaya 2007 yang menganggur tak terserap (Jawa Pos, 10/6). Ironis!

Sebagian orang bisa saja bertanya kritis, buat apa bersekolah? Toh, sekolah tak selalu menjanjikan masa depan. Thomas Alfa Edison berhenti sekolah pada usia 12 tahun dan dia menjadi orang besar. Apa jadinya jika dia terus bersekolah? Mungkin dia akan berhenti bertanya, mencari, dan bereksperimen, lantas mengisi otaknya dengan hafalan nama-nama menteri serta dan ibu kota negara-negara dunia. Informasi yang jarang kita perlukan dan hanya memenuhi otak. Tapi, untuk bangsa yang sakit ini, tidakkah kita tetap memerlukan institusi beratap bobrok dan sesak itu?

Sepuluh tahun lalu, saya membaca kisah Tetsuko Kobayashi. Dia bercerita tentang sebuah sekolah yang membahagiakan. Totto Chan tua itu pada akhir novelnya menulis. ”Aku yakin, di mana-mana di dunia ini ada banyak pendidik yang baik, yang bermimpi bisa mendirikan sekolah yang ideal. Sayangnya, aku tahu betapa sulitnya mewujudkan impian itu.”

Sulitnya mendirikan sekolah ideal tersebut digambarkan Dr Mochtar Buchori, mantan rektor IKIP Muhammadiyah Jakarta. Menurut dia, sistem pendidikan yang diberlakukan di Indonesia saat ini merupakan kelanjutan sistem yang bersifat elitis eksklusif. Kurikulumnya hanya bisa diikuti oleh 30 persen peserta didik, sedangkan 70 persen lainnya tak bisa mengikuti. Ketika jumlah yang 70 persen itu dipaksakan terus mengikuti, terjadilah pengatrolan-pengatrolan dan kecurangan lain yang merusak nilai-nilai pendidikan. Itu terbukti lewat huru-hara setiap ujian nasional (unas) berlangsung, misalnya.

Di Surabaya, kota terbesar setelah Jakarta, kita masih sangat jauh dari impian tentang sekolah yang ideal dan bahagia. Kenyataan pahit ada di depan mata. Ada dua pilihan menghadapi fenomena tersebut. Yakni, bisakah kita tanggapi serius runtuhnya atap salah satu sekolah favorit dan banyaknya sekolah bobrok di Surabaya? Atau, kita anggap peristiwa yang wajar terjadi di sebuah negeri penuh korupsi?

Jika kita masih manusia normal, seharusnya kejadian tersebut menyentak kesadaran. Setidaknya, tentang kepedulian Pemerintah Kota Surabaya dan warga kotanya. Apalagi, sejak awal, dana APBD 2008 yang digunakan untuk pendidikan relatif masih cukup kecil. Hanya sekitar Rp 172 miliar atau 7,23 persen dari total APBD Surabaya yang mencapai Rp 3,025 triliun. Persentase angka tersebut masih jauh dari amanat UU bahwa anggaran pendidikan setidaknya 20 persen.

Malangnya, secara nasional (semoga Surabaya lebih baik), berdasar hasil kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, sebagian besar anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan. Dana itu lebih banyak dipakai untuk pelayanan dan kebutuhan birokrasi seperti pendidikan dan latihan teknis pegawai, peningkatan kapasitas kelembagaan, serta administrasi kepegawaian.

Entah benar atau salah, kajian forum tersebut mewujud di sini. Pemerintah Kota Surabaya bergerak lamban. Tentu dengan alasan klasik, terbelit birokrasi. Akibatnya jelas, perbaikan gedung sekolah rusak tak juga kunjung usai. Pada 2007, di antara 1.713 sekolah di Surabaya dengan 14.802 ruang kelas yang dimiliki, hanya 12.619 yang berkondisi baik. Sebanyak 1.440 lainnya rusak ringan dan 743 ruang kelas rusak berat. Dengan berlalunya waktu, sudahkah angka itu menurun?

Di sisi lain, warga kota tidak acuh, sibuk menghidupi diri sendiri, dan hanya peduli pada fakta bahwa anak-anaknya berangkat berseragam rapi. Sampai di sekolah, mereka tak pernah berpikir bahwa gedung sekolah anak-anaknya bobrok. Kelasnya pun sumpek. Jumlah guru berkualitasnya kurang, ditambah metode pembelajaran yang masih bermodal ”chalk and talk”. Kapur dan bicara.

Masih jarang guru yang menerapkan pembelajaran mutakhir yang bersifat penalaran kritis dan demokratis. Akibatnya, otak anak-anak kita pun berubah. Dari otak Thomas Alfa Edison sang penemu, otak Tetsuko penulis novel best seller, menjadi otak konsumen, pemakai, penghafal, otak tumpul kreativitas. Malangnya, itu sudah terbukti pada otak saya.

Nah, tentu kita ingin otak anak-anak kita lebih baik kan? Karena itu, mari bergerak bersama. Jangan hanya mengandalkan kelambanan pemerintah. Sumbanglah pikiran dan berbuatlah sesuatu untuk sekolah anak-anak. Sudah saatnya warga Surabaya menciptakan sekolah yang baik untuk anak-anaknya. Apalagi jika kota ini bisa memenuhi impian jiwa mereka. Yakni, membuat sekolah, yang menurut A.S. Neill, menjadi tempat di mana ketidakbahagiaan anak-anak disembuhkan dan anak-anak diasuh serta dididik dalam kebahagiaan. Bukan dalam pola kekuasaan dan keseragaman.

Satu sekolah kukuh yang jika saat ini belum bisa menciptakan orang besar. Setidaknya bukan sekolah roboh yang mengancam otak, jiwa, dan keselamatan anak-anak di dalamnya. Semoga!


Jawa Pos 12/6/08, judul aslinya : Robohnya Sekolah dan Otak Kami

Artikel Guru Jawa Pos

Memasuki hari ke-44, artikel guru yang masuk di Program Untukmu Guruku 2008
Jawa Pos mencapai 1400-an. Artikel guru ini dimulai pada 1 Januari sampai 29
Februari nanti. Setiap hari, ada dua artikel yang dimuat. Para penulisnya
adalah guru yang berasal dari hampir seluruh daerah di Jawa Timur. Mulai
Pacitan sampai Banyuwangi. Padahal, di antara sekian ribu artikel, hanya 120
tulisan yang dimuat. Meski demikian, tulisan yang termuat sampai saat ini cukup
merata. Ada guru TK, guru SLB, tutor sebuah lembaga pendidikan, guru
madrasah/pesantren, sampai guru SMK. Sebelum masuk ke meja redaktur artikel
guru, semua artikel lebih dulu diseleksi oleh tim dari Dinas P dan K Surabaya
serta Unesa.

Pengalaman unik saya alami ketika menghubungi salah seorang guru yang
artikelnya dimuat. Belum selesai saya menanyakan nomor rekeningnya, si ibu
tersebut sudah menjerit-jerit karena begitu senangnya. Ada pula seorang GTT
yang mengisahkan bahwa dia sangat terobsesi mengikuti artikel guru Jawa Pos
karena gajinya Rp 250 ribu per bulan tidak cukup untuk menutupi kebutuhannya.
Kemudian, seorang guru yang lulus sertifikasi kuota 2006 sangat bersemangat
sampai mengirim tujuh artikelnya meski tidak ada yang termuat. Bahkan, ada juga
dosen dari STIKIP PGRI Ngawi yang juga sastrawan dan alumnus Unesa ikut menulis
di program ini.

Meski animo guru di Jatim mengikuti program artikel guru ini cukup besar,
agaknya banyak guru yang belum bisa membedakan penulisan artikel dan karya
tulis ilmiah. Banyak pula tema yang melenceng jauh dari bidang studi yang dia
ajarkan. Padahal, beberapa poin tersebutlah yang perlu diperhatikan. Gaya
penulisan skripsi masih banyak diadopsi. Karena itu, dalam Semiloka Guru
tentang Penulisan Artikel beberapa waktu lalu di Kantor Telkom Divre V
Surabaya, para instruktur yang terdiri atas beberapa guru yang berpengalaman
menulis di media massa dan beberapa redaktur Jawa Pos memberikan tips tentang
penulisan artikel.

Harapan tentang guru ideal di Jawa Timur ke depan mungkin bukan sekadar wacana.
Sebab, selain Jawa Pos yang concern dengan para guru lewat Program Untukmu
Guruku, ada Klub Guru Jawa Timur. Komunitas ini bisa menjadi jembatan bagi para
guru, insan pendidikan, bahkan masyarakat yang peduli dengan pendidikan untuk
saling belajar, membagi informasi, dan pengalaman. Sehingga, dengan adanya
program untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru, diharapkan ikut
mengangkat kualitas pendidikan di negara kita. Mudah-mudahan para guru tidak
hanya terfokus pada sertifikasi demi mendapatkan tunjangan profesi. Namun,
tujuan peningkatan mutu pembelajaran bisa dicapai dengan mencetak generasi
penerus yang berkualitas. Semoga.

http://www.mail-archive.com/gudang-ilmu@yahoogroups.com/msg00098.html

Perawatan Bracket di Medical Center ITS



Menurut Manajer Umum dan Keuangan Medical Center ITS, drg Dwi Nur Handari, spesialis orthodensi ini melengkapi spesialis di poli gigi. Sebelumnya sudah ada spesialis bedah mulut on call yang melayani konservasi gigi hingga membuat gigi tiruan.

Spesialis orthodensi sendiri lebih dikenal sebagai spesialis behel (kawat gigi, Red) oleh masyarakat awam. Hal ini tidak salah karena orthodensi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang ilmu tumbuh kembang gigi beserta keharmonisan antara gigi, rahang dan wajah. Drg Lila Muntadir Sp Ort , dokter spesialis orthodensi di Medical Center berpendapat bahwa membicarakan orthodensi adalah membicarakan estetika sesungguhnya. “Intinya menata gigi agar tumbuh rapi,”sebutnya.

Menurut Lila untuk menata gigi agar tersusun rapi dipergunakan dua jenis piranti ortodonti, yaitu piranti lepasan dan piranti cekat yang umum disebut bracket atau behel. Keuntungan pemakaian piranti cekat atau behel adalah dapat membuat gigi bergerak utuh sampai ke akar-akar. Sedangkan piranti lepasan jamak dipergunakan oleh pemula sebelum menggunakan behel atau oleh anak-anak.

Wanita berjilbab ini mengungkapkan bahwa perkembangan behel saat ini cukup pesat. Dalam tempo yang relatif singkat muncul versi terbaru dari behel. “Model terbaru berdampak pada lebih cepat selesainya perawatan dan lebih nyaman saat dipakai,”jelasnya. Rata-rata pemakaian behel antara satu setengah hingga tiga tahun. Namun semua itu tergantung kasusnya.

“Bahkan pada usia emas pemakaian behel yaitu sebelas hingga lima belas tahun, pada kasus yang cukup sederhana bisa diselesaikan dalam tempo enam bulan saja,” terang dokter yang tinggal di kawasan Semolowaru ini.

Di Medical Center ITS sendiri praktik spesialis orthodensi dapat dinikmati mulai hari Senin hingga Jumat sejak pukul setengah tiga sore.(tyz/f@y)

http://its.ac.id/berita.php?nomer=5033

Lantai Dansa Dinosaurus


Sisa tulang dinosaurus sudah sering ditemukan para ahli arkeologi. Namun sebuah tempat berkumpul ratusan binatang purba raksasa itu baru kemarin terungkap tim ahli geologi dari Universitas Utah, AS. Terdapat lebih dari 1.000 jejak di area sepanjang Arizona hingga Utah. Banyaknya jejak itu membuat tim ahli menyebutnya "lantai dansa dinosaurus." Jejak-jejak yang ditunjukkan peneliti Winston Seiler ini berukuran panjang 45 cm dan memiliki tiga jari dan tumit. Ditemukan juga tanda buntut berupa lubang memanjang. (kim)

jawapos